Sabtu, 01 Januari 2011

Atas Nama Malam, Kisah Para Manusia Malam

Add caption
Pelajaran mengarang adalah “neraka” bagi Sandra. Karena bagi siswi kelas 5 SD itu, saat pelajaran mengarang, ia harus benar-benar mengarang. Apalagi di hari itu, ia harus memilih tiga judul yang disodorkan gurunya. Judul pertama adalah Keluarga Kami yang Bahagia, kemudian yang kedua Liburan ke Rumah Nenek dan yang ketiga Ibu.
Bagi anak-anak seusianya, memilih satu di antara tiga judul tersebut mungkin tak akan sulit. Tapi tidak bagi Sandra. Ia tidak mungkin mengungkap siapa sebenarnya dirinya yang hanya tinggal dengan ibunya. Jika mengingat tentang keluarga, yang hadir di bayangannya adalah suasana rumah yang berantakan di mana botol-botol dan kaleng-kaleng bekas minuman berserakan. Ceceran bir bahkan ada di mana-mana.
Begitu juga ketika ia harus menggambarkan sosok nenek. Yang tergambar dalam pikirannya adalah seorang perempuan tua dengan make-up tebal. Oleh semua orang perempuan tersebut memang dipanggil Mami. Apakah dia benar-benar neneknya?
Bagaimana dengan judul Ibu? Sandra memang punya Ibu. Tapi yang ada dalam pikirannya adalah seorang perempuan yang mampu bersikap manis tapi lebih sering bersikap sebaliknya. Ibunya sering pulang dalam keadaan mabuk berat. Tapi akhirnya lewat sebuah kalimat Sandra mengungkap siapa ibunya.
Itulah inti dari cerpen Pelajaran Mengarang karya Seno Gumira Ajidarma yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Atas Nama Malam. Ada dua bagian cerita dalam buku ini. Yang pertama, Suatu Malam, Aku Jatuh Cinta dan Suatu Malam, Aku Bercerita.
Cerita-cerita di buku ini memang berkisah tentang orang malam. Di waktu malam, ketika sebagian besar orang terlelap, sebagian orang beraktivitas. Ada sebagian orang yang memang memilih menjadi orang malam atau ada juga yang merasa terjerumus.
Di buku ini juga pembaca bisa sedikit tahu tentang nama dan jenis minuman keras (impor). Di bagian akhir Suatu Malam, Aku Jatuh Cinta ada semacam penjelasan dari catatan kaki. Di beberapa cerita Seno memasukan nama minuman keras atau lagu atau juga puisi. Olehnya, nama minuman keras, lagu dan puisi itu diberi penjelasan. Jika mendambakan cerita-cerita yang berakhir bahagia, akan sia-sia jika mencarinya di buku ini.

Minggu, 12 Desember 2010

Dyah Pitaloka Senja di Langit Majapahit, Kisah Tragis Sang Putri Sunda

Tanggal 13 Kresnapaksa, bulan Badra tahun 1279 Caka. Hari itu di Tegal Bubat, Kerajaan Sunda kehilangan rajanya Prabu Maharaja Linggabuana. Tak hanya sang raja, putrinya Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi juga ikut tewas di Tegal Bubat.
Sedianya, hari itu merupakan hari bahagia bagi Dyah Pitaloka yang kecantikannya sempurna. Karena di hari itu, ia akan menikah dengan Raja Majapahit Hayam Wuruk. Namun, tak ada ingar-bingar pesta hari itu. Yang terjadi justru pertempuran tak seimbang antara utusan Kerajaan Sunda dan pasukan Majapahit yang dikenal dengan nama Bhayangkara. Semua utusan Sunda tewas.
Itulah sekilas cukilan dalam novel Dyah Pitaloka Senja di Langit Majapahit yang terbit tahun 2005. Novel karya Hermawan Aksan ini memang fiksi namun berbalut sejarah. Meski Perang Bubat sendiri hingga kini masih diperdebatkan. Apakah benar terjadi atau hanya fiksi.
Novel ini bercerita tentang Dyah Pitaloka yang merupakan putri pertama dari Linggabuana dan Permaisuri Lara Lisning. Meski seorang putri saja, toh Dyah Pitaloka kadang merasa tak nyaman. Ia merasa banyak aturan atau pakem yang mengungkungnya. Hingga suatu saat ia pun berujar, “Betapa susahnya menjadi perempuan di negeri ini….” Atau batinnya mengatakan, “Di negeri ini, perempuan hanyalah sosok tanpa nama….”
Kesukaannya adalah membaca kitab-kitab yang sudah dibuat pada saat itu. Seperti Bharatayudha dan Patikrama Galunggung. Biasanya Dyah Pitaloka membaca kitab itu di rumah pamannya Bunisora. Selain digambarkan sebagai putri yang jelita, Dyah Pitaloka juga digambarkan memiliki keinginan berbeda dari perempuan lainnya di zaman itu. Karena suatu waktu, ia minta diajarkan ilmu kanuragan.
Kecantikan Dyah Pitaloka ternyata hinggap juga di Majapahit. Suatu saat datang utusan dari Wilwatika atau Majapahit. Utusan tersebut diutus untuk melukis Dyah Pitaloka. Lukisannya kemudian diperlihatkan kepada Hayam Wuruk yang tengah mencari calon istri.
Melihat sosok perempuan cantik dalam lukisan, Hayam Wuruk pun terpikat dan meminangnya. Hanya saja, pesta pernikahan tak berlangsung di Kawali yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Sunda. Justru Dyah Pitaloka dan ayahnya yang harus datang ke Wilwatika.
Di sinilah persoalan muncul. Niat tulus Hayam Wuruk ditelikung oleh patihnya Gajah Mada. Hingga akhirnya pecah pertempuran di Tegal Bubat. Tak mau pengorbanan ayahnya dan juga prajurit Sunda sia-sia, Dyah Pitaloka akhirnya memutuskan untuk bunuh diri menggunakan patrem. Sambil menusukkan patrem ke ulu hatinya, Dyah Pitaloka berteriak, “Dirgahayu Negeri Sunda!”
Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu cakangna. (Ada kemarin ada besok, kalau tak ada kemarin tak ada besok, ada dulu ada sekarang, kalau tak ada dulu tak ada sekarang, ada tongkat ada dahan, kalau tak ada tongkat tak ada dahan, kalau ada tunggul tentu ada bekas pohonnya). {Patikrama Galunggung}

Minggu, 28 November 2010

Merekam Perjalanan Persib di Liga Indonesia

Persib Bandung, selama ini menjadi magnet bagi pendukungnya. Sejak lahir tahun 1933, Maung Bandung menjelma menjadi sebuah tim besar yang disegani lawannya. Sekecil apapun berita atau perkembangan Persib selalu dinantikan oleh bobotoh.
Selama 77 tahun, berbagai gelar telah direngkuh oleh Persib. Di kompetisi Perserikatan Pangeran Biru lima kali menjadi juara yakni di tahun 1937, 1961, 1986, 1990 dan 1994. Persib juga pernah menjadi juara Piala Sultan Hasanal Bolkiah di Brunei Darusalam  tahun 1986. Gelar terakhir Persib adalah juara Liga Indonesia pertama tahun 1995.
Selain pernah menjadi juara, Persib juga pernah turun kasta ke Divisi I pada tahun 1978. Di era Liga Indonesia, Persib juga pernah beberapa kali hampir terdegradasi. Namun, Maung Bandung selalu lolos dari lubang jarum dan tetap berkiprah di kompetisi paling bergengsi di Indonesia.
Arsitek-arsitek Persib pun sering menjadi tumbal. Sejak Liga Indonesia bergulir hingga Liga Super Indonesia musim ini, sudah ada enam pelatih yang jadi tumbal. Mereka mundur atau dipecat di tengah kompetisi. Alasannya hampir sama, prestasi jeblok Maung Bandung.
Semua cerita itu bisa didapatkan di majalah Unofficial Book Persib Maung Bandung Catatan Perjalanan di Liga Indonesia. Majalah ini terbit di pertengahan tahun 2010. Ketika Jaya Hartono baru saja mengundurkan diri dari kursi pelatih Persib. Saat itu, Jaya adalah pelatih kelima yang kiprahnya harus terhenti di tengah jalan.
Selain cerita tentang perjalanan Persib di Liga Indonesia dan juga LSI, dalam majalah tersebut juga terdapat profil singkat beberapa pemain yang pernah berbaju Persib atau pemain yang saat ini membela Maung Bandung. Seperti Asep Dayat yang pernah menolak untuk ikut seleksi sebuah tim di Swedia karena memilih Persib. Atau trio pemain Polandia yang gagal membawa Persib berprestasi. Ada juga penyerang asal Kamerun Christian Bekamenga yang akhirnya hijrah ke Liga Prancis.
Ada juga cerita-cerita singkat legenda-legenda Persib. Mereka pernah membawa Persib meraih titel juara. Robby Darwis, Djadjang Nurdjaman, Adjat Sudradjat, Yusuf Bachtiar, Dede Iskandar, Adeng Hudaya dan Sutiono Lamso adalah mantan pemain yang dianggap legenda. Prestasi mereka hingga kini belum bisa diikuti oleh juniornya. Karena setelah tahun 1995, Persib belum pernah menjadi juara baik di LSI maupun di Piala Indonesia. Duh, kapan Persib bisa juara lagi?