Minggu, 12 Desember 2010

Dyah Pitaloka Senja di Langit Majapahit, Kisah Tragis Sang Putri Sunda

Tanggal 13 Kresnapaksa, bulan Badra tahun 1279 Caka. Hari itu di Tegal Bubat, Kerajaan Sunda kehilangan rajanya Prabu Maharaja Linggabuana. Tak hanya sang raja, putrinya Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi juga ikut tewas di Tegal Bubat.
Sedianya, hari itu merupakan hari bahagia bagi Dyah Pitaloka yang kecantikannya sempurna. Karena di hari itu, ia akan menikah dengan Raja Majapahit Hayam Wuruk. Namun, tak ada ingar-bingar pesta hari itu. Yang terjadi justru pertempuran tak seimbang antara utusan Kerajaan Sunda dan pasukan Majapahit yang dikenal dengan nama Bhayangkara. Semua utusan Sunda tewas.
Itulah sekilas cukilan dalam novel Dyah Pitaloka Senja di Langit Majapahit yang terbit tahun 2005. Novel karya Hermawan Aksan ini memang fiksi namun berbalut sejarah. Meski Perang Bubat sendiri hingga kini masih diperdebatkan. Apakah benar terjadi atau hanya fiksi.
Novel ini bercerita tentang Dyah Pitaloka yang merupakan putri pertama dari Linggabuana dan Permaisuri Lara Lisning. Meski seorang putri saja, toh Dyah Pitaloka kadang merasa tak nyaman. Ia merasa banyak aturan atau pakem yang mengungkungnya. Hingga suatu saat ia pun berujar, “Betapa susahnya menjadi perempuan di negeri ini….” Atau batinnya mengatakan, “Di negeri ini, perempuan hanyalah sosok tanpa nama….”
Kesukaannya adalah membaca kitab-kitab yang sudah dibuat pada saat itu. Seperti Bharatayudha dan Patikrama Galunggung. Biasanya Dyah Pitaloka membaca kitab itu di rumah pamannya Bunisora. Selain digambarkan sebagai putri yang jelita, Dyah Pitaloka juga digambarkan memiliki keinginan berbeda dari perempuan lainnya di zaman itu. Karena suatu waktu, ia minta diajarkan ilmu kanuragan.
Kecantikan Dyah Pitaloka ternyata hinggap juga di Majapahit. Suatu saat datang utusan dari Wilwatika atau Majapahit. Utusan tersebut diutus untuk melukis Dyah Pitaloka. Lukisannya kemudian diperlihatkan kepada Hayam Wuruk yang tengah mencari calon istri.
Melihat sosok perempuan cantik dalam lukisan, Hayam Wuruk pun terpikat dan meminangnya. Hanya saja, pesta pernikahan tak berlangsung di Kawali yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Sunda. Justru Dyah Pitaloka dan ayahnya yang harus datang ke Wilwatika.
Di sinilah persoalan muncul. Niat tulus Hayam Wuruk ditelikung oleh patihnya Gajah Mada. Hingga akhirnya pecah pertempuran di Tegal Bubat. Tak mau pengorbanan ayahnya dan juga prajurit Sunda sia-sia, Dyah Pitaloka akhirnya memutuskan untuk bunuh diri menggunakan patrem. Sambil menusukkan patrem ke ulu hatinya, Dyah Pitaloka berteriak, “Dirgahayu Negeri Sunda!”
Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu cakangna. (Ada kemarin ada besok, kalau tak ada kemarin tak ada besok, ada dulu ada sekarang, kalau tak ada dulu tak ada sekarang, ada tongkat ada dahan, kalau tak ada tongkat tak ada dahan, kalau ada tunggul tentu ada bekas pohonnya). {Patikrama Galunggung}

Minggu, 28 November 2010

Merekam Perjalanan Persib di Liga Indonesia

Persib Bandung, selama ini menjadi magnet bagi pendukungnya. Sejak lahir tahun 1933, Maung Bandung menjelma menjadi sebuah tim besar yang disegani lawannya. Sekecil apapun berita atau perkembangan Persib selalu dinantikan oleh bobotoh.
Selama 77 tahun, berbagai gelar telah direngkuh oleh Persib. Di kompetisi Perserikatan Pangeran Biru lima kali menjadi juara yakni di tahun 1937, 1961, 1986, 1990 dan 1994. Persib juga pernah menjadi juara Piala Sultan Hasanal Bolkiah di Brunei Darusalam  tahun 1986. Gelar terakhir Persib adalah juara Liga Indonesia pertama tahun 1995.
Selain pernah menjadi juara, Persib juga pernah turun kasta ke Divisi I pada tahun 1978. Di era Liga Indonesia, Persib juga pernah beberapa kali hampir terdegradasi. Namun, Maung Bandung selalu lolos dari lubang jarum dan tetap berkiprah di kompetisi paling bergengsi di Indonesia.
Arsitek-arsitek Persib pun sering menjadi tumbal. Sejak Liga Indonesia bergulir hingga Liga Super Indonesia musim ini, sudah ada enam pelatih yang jadi tumbal. Mereka mundur atau dipecat di tengah kompetisi. Alasannya hampir sama, prestasi jeblok Maung Bandung.
Semua cerita itu bisa didapatkan di majalah Unofficial Book Persib Maung Bandung Catatan Perjalanan di Liga Indonesia. Majalah ini terbit di pertengahan tahun 2010. Ketika Jaya Hartono baru saja mengundurkan diri dari kursi pelatih Persib. Saat itu, Jaya adalah pelatih kelima yang kiprahnya harus terhenti di tengah jalan.
Selain cerita tentang perjalanan Persib di Liga Indonesia dan juga LSI, dalam majalah tersebut juga terdapat profil singkat beberapa pemain yang pernah berbaju Persib atau pemain yang saat ini membela Maung Bandung. Seperti Asep Dayat yang pernah menolak untuk ikut seleksi sebuah tim di Swedia karena memilih Persib. Atau trio pemain Polandia yang gagal membawa Persib berprestasi. Ada juga penyerang asal Kamerun Christian Bekamenga yang akhirnya hijrah ke Liga Prancis.
Ada juga cerita-cerita singkat legenda-legenda Persib. Mereka pernah membawa Persib meraih titel juara. Robby Darwis, Djadjang Nurdjaman, Adjat Sudradjat, Yusuf Bachtiar, Dede Iskandar, Adeng Hudaya dan Sutiono Lamso adalah mantan pemain yang dianggap legenda. Prestasi mereka hingga kini belum bisa diikuti oleh juniornya. Karena setelah tahun 1995, Persib belum pernah menjadi juara baik di LSI maupun di Piala Indonesia. Duh, kapan Persib bisa juara lagi?

Minggu, 21 November 2010

Merindukan Sosok Hoegeng

Jika saja saya tak menyaksikan acara Kick Andy, mungkin saya tak akan tahu nama Hoegeng Imam Santoso. Nama Hoegeng memang cukup asing di telinga kebanyakan orang. Siapakah Hoegeng?
Mantan Presiden RI Abdurahman Wahid sempat berseleroh. Di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang tak bisa disogok. Patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng. Hoegeng adalah mantan Kapolri. Ia menjabat sebagai orang nomor satu di Polri sejak tahun 1968 hingga 1971.
Hoegeng lahir di Pekalongan 14 Oktober 1921. Ayahnya Sukario Hatmodjo adalah kepala kejaksaan di Pekalongan ketika zaman penjajahan Belanda. Sebagai polisi, kariernya dimulai sejak zaman Jepang. Di awal kemerdekaan, Hoegeng sempat juga pindah ke Angkatan Laut dan membidani lahirnya Polisi Penyelidik Angkatan Laut yang sekarang disebut sebagai Pomal.
Namun, akhirnya ia kembali ke kepolisian. Nama Hoegeng semakin dikenal setelah menjabat sebagai Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut (Polda Sumut) yang sekarang nama jabatannya adalah Direktur Reserse Kriminal. Awal 1956, Hoegeng pun bertugas di Sumut.
Tugas itu cukup berat. Ini karena, Sumut dikenal sebagai tempat penyeludupan dan juga perjudian. Sumut juga menjadi ajang uji coba bagi para pejabat polisi. Jika berhasil, karier mereka akan melejit. Jika gagal, karier pun akan tersungkur. Para pelaku penyeludupan dan perjudian pun tak segan-segan mendekati polisi agar mau dijadikan kawan.
Di sini lah jati diri Hoegeng mulai muncul. Ia dengan tegas menolak barang-barang pemberian pelaku penyeludupan. Padahal, ia mengakui jika barang-barang tersebut adalah barang mewah yang mungkin tak bisa dimilikinya jika mengandalkan gaji sebagai polisi. Saat akan pindah ke rumah dinas, ia memerintahkan polisi dan kuli untuk mengeluarkan barang-barang pemberian yang ternyata sudah disimpan di dalam rumah.
Setelah dari Sumut, Hoegeng sempat diparkir setahun. Ini karena ada rumor Hoegeng bagian dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Setelah masalah itu selesai, Hoegeng kembali tugas di luar kepolisian. Ia sempat menjabat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi dan juga Menteri Iuran Negara (Dirjen Pajak).
Baru selepas peristiwa G 30 S Hoegeng kembali ke kepolisian. Mulanya ia menjabat sebagai Deputi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Dan tanggal 15 Mei 1968, Hoegeng dilantik menjadi Kapolri. Saat menjabat, ada beberapa kasus besar yang terjadi. Ia ingin bersikap profesional namun terganjal kepentingan penguasa. Kasus-kasus tersebut di antaranya penyeludupan mobil mewah, lalu peristiwa penembakan mahasiswa ITB oleh taruna Akpol dan perkosaan seorang penjual telur, Sumarijem di Jogjakarta yang konon melibatkan putra petinggi di Jogjakarta dan juga putra seorang pahlawan revolusi.
Hoegeng juga adalah penggagas digunakannya helm oleh pengendara sepeda motor. Saat aturan ini pertama keluar, banyak pihak termasuk pemerintah yang menentangnya. Kini, aturan penggunaan helm justru terasa manfaatnya. Ia akhirnya dipensiunkan pada 2 Oktober 1971. Saat pensiun, terlihat bagaimana bersahajanya Hoegeng. Karena, ia tak memiliki mobil dan rumah. Mobil dimilikinya setelah mendapat hadiah dari kapolda-kapolda yang iuran dan membeli sebuah mobil. Begitu juga rumah, Polri menghibahkan rumah dinas untuk dimilikinya.
Selepas pensiun, Hoegeng masih tetap kritis. Merasa ada yang tidak benar dengan negeri ini, Hoegeng ikut menandatangani petisi 50 yang membuat Soeharto gerah. Akibatnya, ia dan 49 penggagas petisi 50 kena cekal dan diawasi secara ketat. Ia tak bisa lagi pergi ke luar negeri bahkan tak diundang saat perayaan Hari Bhayangkara.
Hoegeng berpulang pada 14 Juli 2004. Membaca kisah Hoegeng di buku Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, membuat kita bertanya-tanya, adakah sosok seperti Hoegeng akan kembali tercipta dan memimpin kepolisian di Indonesia?

Jumat, 19 November 2010

Membunuh Orang Gila, Kumpulan Cerpen yang Puitis

Apa jadinya jika seseorang yang terkenal sebagai pencipta puisi membuat cerpen. Tak hanya satu, tapi beberapa cerpen yang kemudian dibukukan. Hasilnya bisa dilihat di buku Membunuh Orang Gila.
Buku ini merupakan buah tangan Sapardi Djoko Damono. Pertama kali membacanya, saya merasakan ada yang berbeda. Pilihan bahasa yang digunakan Sapardi tak biasa. Nuansa puisi di dalam cerita ciptaannya begitu kental. Seperti yang ditulisnya di cerita Dalam Lift. “Sayang, kosa kataku ternyata tidak cukup untuk menggambarkannya, apalagi mengungkapkan ricik air, atau semilir angin atau langkah kaki hujan yang bergerak dalam pikiranku.”
Atau juga di cerita Ketika Gerimis Jatuh. “Ia sayang pada gerimis, pada titik-titik air yang jatuh ke payung, dan butir-butir air yang tergelincir.”
Sapardi juga ternyata ‘sakti’. Di beberapa cerita, ia bisa membuat rumah, sepatu dan jalan lurus bercerita. Bahkan kepadanya, rumah mencurahkan isi hatinya. “Seandainya boleh memilih, saya tak mau jadi rumah. Orang boleh memilih rumah, tetapi rumah tak berhak memilih penghuninya.”
Cerita-cerita karangan Sapardi pun tak melulu harus panjang. Dalam beberapa cerita, isinya hanya dua atau tiga paragraf saja. Meskipun sangat pendek, namun apa yang diungkapkannya selalu bermakna. Ini yang membuat saya senang membaca buku ini.
Cerita yang paling berkesan adalah Ratapan Anak Tiri. Di sini diceritakan tentang seorang anak kelas lima SD yang bingung. Si anak bingung karena tak pernah dicium pipinya dan mencium pipi orang lain. Di rumah, dia sering melihat ayah dan ibu tirinya saling mencium pipi. Tapi, pipinya tak pernah diberi jatah untuk dicium.

Kamis, 18 November 2010

Saksi dan Pelaku Gestapu, Menguak yang Tak Terungkap

Perjalanan bangsa Indonesia pernah diwarnai sejarah kelam. Di satu malam di tahun 1965, enam perwira tinggi dan seorang perwira menengah diculik dan kemudian dibunuh. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan nama G30S/PKI atau Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh).
Ketika zaman orde baru, sejarah tentang Gestapu satu versi. Versi penguasa disebarluaskan di sekolah hingga kemudian dibuat film. Baru kemudian setelah Soeharto lengser, para pelaku sejarah mulai bersuara. Terlebih, mereka yang sempat mendekam di tahanan karena digolongkan sebagai orang ‘kiri’ dibebaskan. Sebenarnya, dulu saya tidak terlalu peduli versi mana yang benar. Terlebih, versi orde baru sudah begitu menancap di otak. Namun, saat kuliah, hal ini menggelitik saya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Buku yang saya baca ini judulnya Saksi dan Pelaku Gestapu, Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965. Buku ini diterbitkan oleh Media Pressindo tahun 2005. Dalam buku ini, dimuat kesaksian pelaku dan juga saksi dari mereka-mereka yang secara langsung terlibat maupun menjadi saksi mata tragedi ini.
Di antaranya adalah Soeharto, orang yang sesaat setelah Gestapu memegang peranan penting. Ia kemudian menjadi presiden Indonesia. Kemudian ada juga Mayjen Thahir yang menjabat sebagai Perwira Pelaksana Team Pemeriksa Pusat (Teperpu) Kopkamptib 1966-1973. Thahir saat itu memeriksa tokoh PKI yang dianggap sebagai penggerak kudeta.
Ada juga pengakuan dari Buntoro yang saat itu bertugas menjemput S Parman. Kemudian Serka Bungkus anggota Resimen Cakrabirawa yang tugasnya “menjemput” Mayjen MT Haryono. Lalu Kolonel Latief Dan Brigif I Jayasakti yang dianggap sebagai dalang utama Gestapu. Namun yang mengejutkan adalah pengakuan Latief yang sempat bertemu Soeharto dua kali sebelum Gestapu terjadi. Pertama saat Latief berkunjung ke rumah Soeharto pada 29 September. Saat itu, Latief menanyakan soal Dewan Jendral.
Kedua, pada 30 September atau beberapa jam sebelum penculikan dilakukan. Mereka bertemu di RS Gatot Subroto karena Soeharto kala itu sedang menunggui Tommy Soeharto yang tersiram sup panas. Saat itu, Latief memberitahu akan ada gerakan menghadapkan tujuh jenderal kepada presiden. Saat itu Soeharto hanya manggut-manggut. Bahkan Soeharto bertanya siapa yang memimpin. “Saya jawab, Letkol Untung,” kata Latief. Bahkan, dalam pledoinya, Latief menyebutkan Soeharto terlibat G 30 S.
Lain lagi pengakuan Letjen (Purn) Kemal Idris. Pascatragedi, ia aktif menangkap anggota PKI di Pati, Blora dan daerah lainnya. Namun, akhirnya ia juga menduga jika Soeharto memang terlibat dalam G 30 S. Ini karena ia tahu jika Latief sebelum G 30 S ternyata menghadap Soeharto. Ditambah fakta jika Letkol Untung dan Latief pernah menjadi bawahan Soeharto di Kodam Dipenogoro. Pengakuan ini juga dituturkan Kemal di buku Hoegeng yang diterbitkan oleh Bentang.
Apalagi, tutur Kemal, Soeharto saat PKI memberontak tahun 1948 di Madiun, pernah ditangkap oleh Siliwangi. Beruntung Jenderal Soedirman memerintahkan Siliwangi untuk melepaskannya. “Pasti ada hubungannya dengan PKI. Mengapa dia tidak dibunuh di sana oleh PKI? Jadi, dalam benak saya dan saya hubungkan dengan sikap dia menghadapi PKI Madiun, Soeharto mungkin terlibat,” tuturnya.
Selain mereka, ada pengakuan dari saksi lainnya. Baik itu keluarga korban maupun orang-orang yang ‘diseret’ masuk untuk menjadi pelaku Gestapu. Seperti yang dituliskan di kalimat terakhir oleh penerbit dalam prolognya, Mudah-mudahan hanya sekali saja negeri ini mengalami tragedi seperti tahun 1965.

Selasa, 16 November 2010

Lasminingrat, Perempuan Hebat dari Garut

Bicara tentang pionir pendidikan untuk perempuan di Jawa Barat, sosok yang langsung terbayang adalah Raden Dewi Sartika. Tapi ternyata, sebelum Dewi Sartika berkiprah, Jawa Barat sudah punya sosok perempuan hebat. Beberapa kalangan bahkan menyebutnya sebagai perempuan intelektual pertama di Indonesia.
Perempuan itu adalah Raden Ayu Lasminingrat. Saya cukup beruntung karena mempunyai buku Kajian Tentang Perjuangan Raden Ayu Lasminingrat yang ditulis oleh Nina Lubis. Buku ini memang tak beredar luas karena dibuat saat Lasminingrat diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional.
Lasminingrat lahir di Limbangan, Kabupaten Garut tahun 1843. Saat itu, Garut masih bernama Kabupaten Limbangan. Ia adalah putri dari Penghulu Limbangan Raden Haji Muhammad Musa dan sastrawan Sunda Raden Ayu Ria. Orang tuanya memberi nama putrinya Nyi Raden Lasminingrat. Sebagai seorang putri pejabat tinggi kabupaten, Lasminingrat bisa mengenyam pendidikan yang layak. Apalagi ayahnya juga sangat memperhatikan pendidikan putra-putrinya.
Lasminingrat kemudian dikirim oleh ayahnya untuk tinggal di Sumedang di rumah ipar lelaki Levyssohn Norman seorang kontrolir. Levyssohn adalah Sekretaris Jendral Pemerintah Hindia Belanda. Sempat tinggal di Sumedang ternyata membuatnya menikah dengan Raden Tamtu, putra Bupati Sumedang Pangeran Sugih. Namanya pun berubah menjadi Raden Ayu Lasminingrat.
Sayang, pernikahannya tak berlangsung lama karena Raden Tamtu meninggal dunia. Lasminingrat kemudian pulang ke rumah orang tuanya. Dan tak lama kemudian, ia menikah dengan Bupati Limbangan RAA Wiratanudatar dan sejak 1871 Lasminingrat tinggal di Pendopo Kabupaten Limbangan di Garut.
Sejak itulah Lasminingrat mulai berkarya. Tahun 1875, ia menerjemahkan ke dalam bahasa Sunda karya Christoph von Schmidt, Hendrik van Eichenfels yang diberi judul Tjarita Erman (Carita Erman). Buku ini bercerita tentang seorang anak bermana Erman. Erman adalah putra seorang petinggi kerajaan yang kemudian diculik oleh seorang nenek yang membawanya ke gua. Di dalam gua, ia bertemu dengan gerombolan penjahat. Lalu Erman bisa melarikan diri dan bertemu dengan seorang kiai. Bersama kiai itulah Erman mendapatkan pengetahuan tentang alam semesta dan Sang Pencipta.
Di tahun 1876, Lasminingrat menterjemahkan buku Vertelsels uit het Wonderland voor Kinderen, Klien en Groot karya Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur. Buku itu diberi judul Warnasari atawa Rupa-rupa Dongeng. Lalu tahun 1887 terbit Warnasari jilid II. Inilah yang membuat Lasminingrat disebut sebagai perempuan intelektual pertama di Indonesia. Karena ia menjadi pelopor penulisan buku-buku. Menurut Nina, hingga saat ini, belum ditemukan sumber sejarah yang menyebutkan nama perempuan lain yang sudah melakukan hal ini pada tahun 1875.
Lasminingrat ternyata mempunyai hubungan dengan Dewi Sartika. Dewi Sartika, sempat tinggal di Cicalengka setelah ayahnya, Patih Bandung Raden Rangga Somanegara dibuang ke Ternate karena diduga terlibat dalam percobaan pembunuhan Bupati Bandung RAA Martanagara. Di Cicalengka, Dewi Sartika berkenalan putri Lasminingrat, Raden Ayu Mojaningrat yang kala itu menikah dengan Wedana Cicalengka, R Suriatanuningrat.
Dewi Sartika kemudian pulang ke Bandung dan berniat membuka sekolah untuk perempuan. Namun, tidak mudah untuk mendapatkan bantuan dari Bupati Bandung kala itu karena kejadian sebelumnya. Atas campur tangan Lasminingrat yang memberi tahu suaminya, dan kemudian suami Lasminingrat melobi RAA Martanagara, maka Sekolah Istri bisa didirikan tahun 1904.
Di Garut, Lasminingrat pun membuat hal serupa. Tahun 1907 Sekolah Kautaman Istri didirikan. Tempat belajarnya untuk pertama kali adalah di tempat ruang gamelan Pendopo kabupaten. Tahun 1911, ruang sekolah tak lagi numpang di Pendopo. Tapi pindah ke bangunan khusus untuk sekolah di Jalan Kautamaan Istri yang tahun 1950 berubah menjadi nama Jalan Ranggalawe.
Kautamaan Istri pun sempat berubah nama beberapa kali. Menjadi Sekolah Rakyat pada zaman Jepang, kemudian tahun 1950 menjadi SDN Ranggalawe I dan IV. Terakhir, nama sekolah tersebut menjadi SDN Regol VII dan X. Nina Lubis menuturkan, beberapa meubeleur seperti lemari dan meja peninggalan Lasmingingrat masih tersimpan di SDN Regol.
Setelah suaminya pensiun dari jabatan Bupati tahun 1915, Lasminingrat dan keluarga pindah ke sebuah rumah di Regensweg yang sekarang Jalan Siliwangi. Tapi akan sia-sia jika sekarang mencari rumah mana yang pernah dihuni Lasminingrat dan suaminya setelah pensiun. Karena rumah tersebut kini sudah berganti menjadi departement store di Jalan Siliwangi.
Rumah tersebut ditinggalkan Lasminingrat saat mengungsi ketika perang kemerdekaan. Rumah itu lalu dipakai sebagai markas Tentara Republik Indonesia. Ketika kembali dari pengungsian, ia memilih tinggal di sebuah rumah di Jalan Tangsi. Lasmingingrat berpulang 10 April 1948 dan dimakamkan di belakang Mesjid Agung Garut.
Nama Lasminingrat selalu mencuat ketika ada pengajuan pahlawan nasional. Namun, kabar terakhir dari Nina Lubis, Lasminingrat tak juga disetujui menjadi pahlawan nasional. Bahkan, tambahnya, sekarang ada peraturan seseorang tak boleh diajukan lebih dari dua kali. “Lasminingrat sudah tiga kali,” ujarnya.
Meski tak dinobatkan sebagai pahlawan nasional, toh jasa Lasminingrat untuk pendidikan terutama di Garut tetap akan selalu dikenang. Mungkin, jika Anda suatu saat belanja di satu departement store di Jalan Siliwangi Garut, Anda bisa mengingat. Bahwa di tempat ini, dulu seorang perempuan hebat pernah tinggal.

Senin, 15 November 2010

Sarabande, Mencari Cinta di Pulau Dewata

…akulah angin, yang rela dan siap tersesat karena cinta.
Itulah kutipan dalam buku kumpulan cerpen Sarabande karya Bre Redana. Buku ini sebenarnya terbit cukup lawas yakni tahun 2002. Dari 13 cerita yang ada di dalamnya, hampir semuanya berlatar belakang Bali. Meskipun ada yang tidak berlatar belakang Pulau Dewata, Bre Redana tetap memasukan kata Bali. Seperti dalam cerpen yang berjudul Ngantang. Begitu juga di cerita berjudul Pulang Kampung. Kata Bali hanya muncul sekali di cerita ini.
Membaca buku ini bisa membuat orang yang belum pernah ke Bali, akan bisa membayangkan kira-kira seperti apa pulau yang menjadi daerah wisata mahsyur ini. Karena, di bagian akhir buku teradapat peta pulau Bali dan sedikit deskripsi tentang daerah-daerah di Bali.
Settingnya pun tak melulu kawasan tenar seperti Sanur, Jimbaran, Ubud atau Kuta. Pembaca juga bisa tahu daerah Munduk, Negara, Lovina, Mas, Batubulan hingga Tegalsuci yang merupakan satu daerah dekat Kintamani. Oleh Bre Redana, Tegalsuci dilukiskan sebagai daerah yang hampir setiap saat selalu turun kabut.
Isi cerita dalam cerpen ini mayoritas tentang cinta, meski akhirnya selalu tak jelas. Di cerpen Nosferatu, sang pria yang diibaratkan sebagai Pangeran Kelalawar kemudian terlibat percintaan dengan seorang perempuan yang rela mempunyai anak darinya meski tak menikah. Namun di akhir cerita, Pangeran Kelalawar harus menghentikan impiannya mengejar seorang wanita yang dalam gambar bermata bening dan bibirnya menggigit ujung kacamata. Saya sangat terkesan dengan cerpen ini. Sehingga beberapa blog saya memakai nama nosferatu.
Tapi ada juga cerita yang tak berlatar belakang cinta. Pulang Kampung judulnya. Di sini dikisahkan ada seorang pria yang pulang ke kampung tempat tinggalnya ketika masih kecil. Sebenarnya dia sudah tak punya keluarga di kampung tersebut. Saat kecil, ia harus pindah karena bapaknya dianggap orang partai komunis saat zaman orde baru. Kemudian di Lovina Junction, Bre Redana berkisah tentang seorang pria yang selalu dikirimi kartu pos oleh seorang perempuan dari Lovina. Sebuah cerita yang berbau misteri.
Pengalaman Bre Redana sebagai wartawan sebuah harian besar dan ditugaskan di desk non berita membuatnya dengan pintar memasukan unsur kesenian di dalam ceritanya. Seperti di cerita Sarabande, ia bisa memadukan cerita dengan latar tarian Legong Keraton.
Moga ledang ngampurayang, tambet titiang tuhu jati, ngawi gending kirang langkung… (Mudah-mudahan suka memaafkan, kebodohanku yang amat sangat ini, mengarang nyanyian tak menentu…, Lovina Junction)