Minggu, 12 Desember 2010

Dyah Pitaloka Senja di Langit Majapahit, Kisah Tragis Sang Putri Sunda

Tanggal 13 Kresnapaksa, bulan Badra tahun 1279 Caka. Hari itu di Tegal Bubat, Kerajaan Sunda kehilangan rajanya Prabu Maharaja Linggabuana. Tak hanya sang raja, putrinya Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi juga ikut tewas di Tegal Bubat.
Sedianya, hari itu merupakan hari bahagia bagi Dyah Pitaloka yang kecantikannya sempurna. Karena di hari itu, ia akan menikah dengan Raja Majapahit Hayam Wuruk. Namun, tak ada ingar-bingar pesta hari itu. Yang terjadi justru pertempuran tak seimbang antara utusan Kerajaan Sunda dan pasukan Majapahit yang dikenal dengan nama Bhayangkara. Semua utusan Sunda tewas.
Itulah sekilas cukilan dalam novel Dyah Pitaloka Senja di Langit Majapahit yang terbit tahun 2005. Novel karya Hermawan Aksan ini memang fiksi namun berbalut sejarah. Meski Perang Bubat sendiri hingga kini masih diperdebatkan. Apakah benar terjadi atau hanya fiksi.
Novel ini bercerita tentang Dyah Pitaloka yang merupakan putri pertama dari Linggabuana dan Permaisuri Lara Lisning. Meski seorang putri saja, toh Dyah Pitaloka kadang merasa tak nyaman. Ia merasa banyak aturan atau pakem yang mengungkungnya. Hingga suatu saat ia pun berujar, “Betapa susahnya menjadi perempuan di negeri ini….” Atau batinnya mengatakan, “Di negeri ini, perempuan hanyalah sosok tanpa nama….”
Kesukaannya adalah membaca kitab-kitab yang sudah dibuat pada saat itu. Seperti Bharatayudha dan Patikrama Galunggung. Biasanya Dyah Pitaloka membaca kitab itu di rumah pamannya Bunisora. Selain digambarkan sebagai putri yang jelita, Dyah Pitaloka juga digambarkan memiliki keinginan berbeda dari perempuan lainnya di zaman itu. Karena suatu waktu, ia minta diajarkan ilmu kanuragan.
Kecantikan Dyah Pitaloka ternyata hinggap juga di Majapahit. Suatu saat datang utusan dari Wilwatika atau Majapahit. Utusan tersebut diutus untuk melukis Dyah Pitaloka. Lukisannya kemudian diperlihatkan kepada Hayam Wuruk yang tengah mencari calon istri.
Melihat sosok perempuan cantik dalam lukisan, Hayam Wuruk pun terpikat dan meminangnya. Hanya saja, pesta pernikahan tak berlangsung di Kawali yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Sunda. Justru Dyah Pitaloka dan ayahnya yang harus datang ke Wilwatika.
Di sinilah persoalan muncul. Niat tulus Hayam Wuruk ditelikung oleh patihnya Gajah Mada. Hingga akhirnya pecah pertempuran di Tegal Bubat. Tak mau pengorbanan ayahnya dan juga prajurit Sunda sia-sia, Dyah Pitaloka akhirnya memutuskan untuk bunuh diri menggunakan patrem. Sambil menusukkan patrem ke ulu hatinya, Dyah Pitaloka berteriak, “Dirgahayu Negeri Sunda!”
Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu cakangna. (Ada kemarin ada besok, kalau tak ada kemarin tak ada besok, ada dulu ada sekarang, kalau tak ada dulu tak ada sekarang, ada tongkat ada dahan, kalau tak ada tongkat tak ada dahan, kalau ada tunggul tentu ada bekas pohonnya). {Patikrama Galunggung}