Jumat, 19 November 2010

Membunuh Orang Gila, Kumpulan Cerpen yang Puitis

Apa jadinya jika seseorang yang terkenal sebagai pencipta puisi membuat cerpen. Tak hanya satu, tapi beberapa cerpen yang kemudian dibukukan. Hasilnya bisa dilihat di buku Membunuh Orang Gila.
Buku ini merupakan buah tangan Sapardi Djoko Damono. Pertama kali membacanya, saya merasakan ada yang berbeda. Pilihan bahasa yang digunakan Sapardi tak biasa. Nuansa puisi di dalam cerita ciptaannya begitu kental. Seperti yang ditulisnya di cerita Dalam Lift. “Sayang, kosa kataku ternyata tidak cukup untuk menggambarkannya, apalagi mengungkapkan ricik air, atau semilir angin atau langkah kaki hujan yang bergerak dalam pikiranku.”
Atau juga di cerita Ketika Gerimis Jatuh. “Ia sayang pada gerimis, pada titik-titik air yang jatuh ke payung, dan butir-butir air yang tergelincir.”
Sapardi juga ternyata ‘sakti’. Di beberapa cerita, ia bisa membuat rumah, sepatu dan jalan lurus bercerita. Bahkan kepadanya, rumah mencurahkan isi hatinya. “Seandainya boleh memilih, saya tak mau jadi rumah. Orang boleh memilih rumah, tetapi rumah tak berhak memilih penghuninya.”
Cerita-cerita karangan Sapardi pun tak melulu harus panjang. Dalam beberapa cerita, isinya hanya dua atau tiga paragraf saja. Meskipun sangat pendek, namun apa yang diungkapkannya selalu bermakna. Ini yang membuat saya senang membaca buku ini.
Cerita yang paling berkesan adalah Ratapan Anak Tiri. Di sini diceritakan tentang seorang anak kelas lima SD yang bingung. Si anak bingung karena tak pernah dicium pipinya dan mencium pipi orang lain. Di rumah, dia sering melihat ayah dan ibu tirinya saling mencium pipi. Tapi, pipinya tak pernah diberi jatah untuk dicium.

1 komentar: