Minggu, 21 November 2010

Merindukan Sosok Hoegeng

Jika saja saya tak menyaksikan acara Kick Andy, mungkin saya tak akan tahu nama Hoegeng Imam Santoso. Nama Hoegeng memang cukup asing di telinga kebanyakan orang. Siapakah Hoegeng?
Mantan Presiden RI Abdurahman Wahid sempat berseleroh. Di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang tak bisa disogok. Patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng. Hoegeng adalah mantan Kapolri. Ia menjabat sebagai orang nomor satu di Polri sejak tahun 1968 hingga 1971.
Hoegeng lahir di Pekalongan 14 Oktober 1921. Ayahnya Sukario Hatmodjo adalah kepala kejaksaan di Pekalongan ketika zaman penjajahan Belanda. Sebagai polisi, kariernya dimulai sejak zaman Jepang. Di awal kemerdekaan, Hoegeng sempat juga pindah ke Angkatan Laut dan membidani lahirnya Polisi Penyelidik Angkatan Laut yang sekarang disebut sebagai Pomal.
Namun, akhirnya ia kembali ke kepolisian. Nama Hoegeng semakin dikenal setelah menjabat sebagai Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut (Polda Sumut) yang sekarang nama jabatannya adalah Direktur Reserse Kriminal. Awal 1956, Hoegeng pun bertugas di Sumut.
Tugas itu cukup berat. Ini karena, Sumut dikenal sebagai tempat penyeludupan dan juga perjudian. Sumut juga menjadi ajang uji coba bagi para pejabat polisi. Jika berhasil, karier mereka akan melejit. Jika gagal, karier pun akan tersungkur. Para pelaku penyeludupan dan perjudian pun tak segan-segan mendekati polisi agar mau dijadikan kawan.
Di sini lah jati diri Hoegeng mulai muncul. Ia dengan tegas menolak barang-barang pemberian pelaku penyeludupan. Padahal, ia mengakui jika barang-barang tersebut adalah barang mewah yang mungkin tak bisa dimilikinya jika mengandalkan gaji sebagai polisi. Saat akan pindah ke rumah dinas, ia memerintahkan polisi dan kuli untuk mengeluarkan barang-barang pemberian yang ternyata sudah disimpan di dalam rumah.
Setelah dari Sumut, Hoegeng sempat diparkir setahun. Ini karena ada rumor Hoegeng bagian dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Setelah masalah itu selesai, Hoegeng kembali tugas di luar kepolisian. Ia sempat menjabat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi dan juga Menteri Iuran Negara (Dirjen Pajak).
Baru selepas peristiwa G 30 S Hoegeng kembali ke kepolisian. Mulanya ia menjabat sebagai Deputi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Dan tanggal 15 Mei 1968, Hoegeng dilantik menjadi Kapolri. Saat menjabat, ada beberapa kasus besar yang terjadi. Ia ingin bersikap profesional namun terganjal kepentingan penguasa. Kasus-kasus tersebut di antaranya penyeludupan mobil mewah, lalu peristiwa penembakan mahasiswa ITB oleh taruna Akpol dan perkosaan seorang penjual telur, Sumarijem di Jogjakarta yang konon melibatkan putra petinggi di Jogjakarta dan juga putra seorang pahlawan revolusi.
Hoegeng juga adalah penggagas digunakannya helm oleh pengendara sepeda motor. Saat aturan ini pertama keluar, banyak pihak termasuk pemerintah yang menentangnya. Kini, aturan penggunaan helm justru terasa manfaatnya. Ia akhirnya dipensiunkan pada 2 Oktober 1971. Saat pensiun, terlihat bagaimana bersahajanya Hoegeng. Karena, ia tak memiliki mobil dan rumah. Mobil dimilikinya setelah mendapat hadiah dari kapolda-kapolda yang iuran dan membeli sebuah mobil. Begitu juga rumah, Polri menghibahkan rumah dinas untuk dimilikinya.
Selepas pensiun, Hoegeng masih tetap kritis. Merasa ada yang tidak benar dengan negeri ini, Hoegeng ikut menandatangani petisi 50 yang membuat Soeharto gerah. Akibatnya, ia dan 49 penggagas petisi 50 kena cekal dan diawasi secara ketat. Ia tak bisa lagi pergi ke luar negeri bahkan tak diundang saat perayaan Hari Bhayangkara.
Hoegeng berpulang pada 14 Juli 2004. Membaca kisah Hoegeng di buku Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, membuat kita bertanya-tanya, adakah sosok seperti Hoegeng akan kembali tercipta dan memimpin kepolisian di Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar